Selasa, 11 November 2008

Jangan Berharap Banyak Pada Obama


“Saya berjanji kepada Anda bahwa saya akan melakukan apapun yang saya bisa dalam kapasitas apapun untuk tidak hanya menjamin kemanan Israel tapi juga menjamin bahwa rakyat Israel bisa maju dan makmur dan mewujudkan banyak mimpi yang dibuat 60 tahun lalu,” (Barack Obama)

Dengan perhatian yang sangat besar dari seluruh dunia termasuk dunia Islam, Barack Obama akhirnya terpilih menjadi prisiden yang ke-44 Amerika Serikat. Kebencian terhadap Bush dan kebijakan politik luar negeri yang tidak popular delapan tahun terakhir ini telah memberikan citra negatif terhadap kebebasan dan demokrasi Negara Paman Sam itu. Banyak harapan bahwa Obama akan menyelamatkan Amerika Serikat dan membawa perubahan yang besar terhadap dunia.

Harapan yang sama juga muncul dari sebagian umat Islam. Hidayat Nurwahid, Ketua MPR berharap, terpilihnya Obama diharapkan bisa mengubah AS untuk tidak lagi arogan terhadap dunia. “Ini memang menantang dan menarik karena ada sesuatu yang baru. Tetapi, dunia cuma bisa berharap, Obama akan menghadirkan tata dunia baru yang tidak lagi berbasis pada hegemoni arogan negara yang bernama AS ini,” ujar Ketua Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) Hidayat Nurwahid dalam keterangan tertulisnya, Rabu (5/11/2008).

Benar, kita memang bisa sekedar berharap. Namun sepertinya kita tidak bisa berharap terlampau banyak terhadap Obama. Menarik komentar Taji Mustafa, media representative Hizbut Tahrir Inggris tentang terpilihnya Obama. Menurutnya, Amerika bukanlah hanya seorang Obama. Amerika adalah institusi. Amerika Serikat adalah negara dengan ideologi Kapitalis yang telah terbukti lemah dan penuh kebohongan. “Seorang Obama tidak akan bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang merupakan masalah sistemik di negara itu,” tegasnya.

Amerika adalah negara kapitalis dengan politik luar negeri kapitalis yang intinya adalah penjajahan negara lain. Karenanya AS akan tetap menjaga dominasi mereka di negeri Islam dan melanjutkan agenda kapitalis mereka untuk mengekploitasi negeri-negeri Islam. Presiden AS boleh berganti, tapi prinsip penjajahan mereka tidak akan berubah.

Sikap Obama terhadap dunia Islam dalam kampanye pemilu kemarin juga jelas. Obama mendeklarasikan akan menarik pasukan AS dari Irak, tapi mengirimnya ke Afghanistan. Artinya, Obama akan tetap melanjutkan pembantaian brutal tidak berprikemanusiaan terhadap negeri Islam itu.

Obama pun berjanji akan selalu berada di pihak Israel untuk memerangi dan membantai umat Islam di Palestina. Bagi Obama mendukung Israel adalah tradisi sakral yang harus dilanjutkan. Barack Obama mengatakan dia akan melakukan apapun semampunya untuk menjamin keamanan Israel dan melindungi hubungan yang ada antara Amerika Serikat dan Israel.

“Saya berjanji kepada Anda bahwa saya akan melakukan apapun yang saya bisa dalam kapasitas apapun untuk tidak hanya menjamin kemanan Israel tapi juga menjamin bahwa rakyat Israel bisa maju dan makmur dan mewujudkan banyak mimpi yang dibuat 60 tahun lalu,” kata Obama dalam sebuah acara yang disponsori oleh Kedutaan Besar Israel di Washington untuk menghormati hari jadi negara Israel yang ke-60. Dia diperkenalkan oleh duta besar Israel kepada AS, Sallai Meridor

Sikapnya terhadap Hamas juga tidak berbeda dengan presiden Bush. “Saya sudah mengatakan bahwa mereka adalah organisasi teroris, yang tidak boleh kita ajak negosiasi kecuali jika mereka mengakui Israel, meninggalkan kekerasan, dan kecuali mereka mau diam oleh perjanjian sebelumnya antara Palestina dan Israel. Jadi apa perbedaan mendasar yang berubah antara Bush dan Obama?

Perubahan mendasar dunia Islam tidak akan muncul karena individu orang lain . Bukan pula muncul dari sekedar terjadi krisis akibat kegagalan system Kapitalis. Perubahan akan terjadi kalau keimanan individual seorang muslim tidak berhenti pada keimanan yang individual dan spiritual (al-aqidah ar ruhiyah). Tapi menjadi keimanan yang sifatnya politik (al-aqidah as siyasiyah). Keimanan yang mendorong seorang muslim untuk taat kepada Allah SWT secara totalitas , bukan hanya dalam persoalan individu tapi juga sosial dan politik.

Keimanan yang totalitas inilah yang kemudian mendorong umat Islam untuk menegakkan kembali Khilafah Islam: sistem yang bisa dipertanggungjawabkan, yang tidak memberikan jalan bagi manipulasi dan kebohongan, system yang menjadikan jaminan terhadap kebutuhan pokok rakyat (sandang, pangan, dan papan) menjadi kebiajakan pokok ekonominya. Sistem yang akan membebaskan negeri Islam dari penjajahan dan mempertahankan negeri Islam dari kerakusan Kapitalisme yang merampok kekayaan negeri Islam. (Farid Wadjdi)

PR Pasca Eksekusi Amrozi, dkk.


Proses hukum dalam penyelesaian kasus Bom Bali I boleh dibilang selesai. Para pelakunya telah ditangkap, diadili bahkan ada yang telah dieksekusi mati. Namun, pasca eksekusi Amrozi, dkk. banyak pihak yang mencoba mengeruk keuntungan dengan gencarnya pemberitaan media terhadap peristiwa ini. Pihak yang sejak awal mengklaim dirinya moderat dan inklusif menjadikan peristiwa ini sebagai senjata untuk menyudutkan kelompok lain yang dicap radikal, ekstrim dan eksklusif.



Ada yang mengatakan, bahwa radikalisme dan terorisme tidak pernah mati dengan dieksekusinya Amrozi, dkk. Bahkan, ada yang mengatakan, Amrozi, dkk. justru akan menjadi martir yang akan memicu aksi-aksi terorisme baru. Karena itu ada yang menyarankan agar pemerintah juga lebih serius mengatasi berbagai persoalan potensial yang bisa menumbuh-suburkan radikalisme. Di sisi lain, upaya untuk mereduksi makna jihad terus dilakukan. Sampai ada yang menyatakan, bahwa jihad itu bukan perang, tetapi mengentas kemiskinan, kebodohan dan sejenisnya itulah jihad yang sesungguhnya. Selain itu, stigmatisasi juga terus-menerus dilakukan. Seolah-olah jihad, dengan konotasi perang, identik dengan radikalisme dan terorisme.



Jika semuanya ini tidak dijelaskan, dijernihkan dan didudukkan secara proporsional, maka sekali lagi umat Islam akan menjadi korban. Korban penyesatan intelektual (tadhlil fikri) dan penyesatan politik (tadhlil siyasi). Targetnya adalah melemahkan kekuatan umat Islam. Jika demikian, siapa yang diuntungkan? Tentu bukan Islam dan umatnya, melainkan kaum Kafir penjajah. Karena dengan cara seperti itulah, ajaran Islam akan ditinggalkan oleh umatnya. Setelah itu, mereka menjadi lemah, dan dengan mudah dijajah. Tetapi, sayang justru banyak politikus dan tokoh Muslim yang memanfaatkan kondisi ini untuk kepentingan mereka sendiri. Seolah mereka tidak peduli dengan kondisi Islam dan umatnya. Atau mungkin, menurut mereka, mereka justru peduli, namun sayang mereka sudah terjebak dalam kerangka (mindset) yang dibangun dan dikembangkan oleh kaum Kafir penjajah.



Karena itu, kita harus jujur dan amanah dalam menyampaikan Islam. Jika tidak, sama saja dengan mengkhianati Allah, Rasul dan seluruh umat Islam. Memang benar, bahwa jihad, menurut bahasa adalah bekerja keras atau bersungguh-sungguh. Tetapi, dalam istilah syariah, jihad didefinisikan oleh para ulama’ fikih dengan mengerahkan seluruh tenaga untuk berperang di jalan Allah, baik dengan harta, jiwa, raga maupun pikiran, dan baik secara langsung maupun tidak. Itulah pengertian jihad yang disepakati oleh para ulama’, baik dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafii maupun Hanbali. Oleh karena itu, memaknai jihad dengan bekerja keras, bersungguh-sungguh, atau mengalihkan maknanya dari makna asalnya, yaitu mengerahkan seluruh kemampuan untuk berperang di jalan Allah, dengan mengentas kemiskinan, kebodohan dan sebagainya jelas merupakan bentuk penyesatan intelektual (tadhlil fikri). Tindakan seperti ini, dalam pandangan Islam, merupakan tindakan kriminal (jarimah).



Karena dampak dari tindakan tersebut akan menyebabkan umat Islam meninggalkan ajaran Islam yang oleh baginda Nabi saw. disebut sebagai: dzarwah sanam al-Islam (ujung tombak Islam). Itulah jihad, dalam pengertian perang. Jika umat Islam sudah meninggalkannya, bahkan mungkin alergi dengan jihad, maka ketika jihad dikumandangkan, mereka bukan saja tidak melakukan hukum Islam yang agung itu, tetapi juga menolaknya, dan bahkan akan mengatakan jihad yang agung dan suci itu sebagai tindakan terorisme. Padahal, hukum wajibnya jihad adalah qath’i, dan tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama’. Siapapun yang menolak hukum wajibnya jihad bisa dinyatakan Kafir dan keluar dari Islam. Karena menolak hukum yang qath’i. Oleh karena itu, setiap upaya untuk mengaitkan jihad dengan terorisme juga harus ditolak. Pengaitan jihad dengan terorisme jelas berbahaya, dan ini merupakan penyesatan politik (tadhlil siyasi). Tentu, ini juga merupakan tindakan kriminal yang luar biasa (jarimah kubra).



Namun, kita juga harus jujur dan proporsional. Jihad memang bermakna perang, namun tidak semua perang identik dengan jihad. Berperang melawan bughat, berperang melawan teroris, berperang membela kehormatan, berperang membela kehormatan umum masyarakat seperti amar makruf nahi munkar, perang fitnah, perang melawan perampas kekuasaan, termasuk perang untuk mendirikan negara Islam, menurut definisi jihad, tidak termasuk dalam kategori jihad. Karena itu, istilah jihad hanya digunakan dalam konteks berperang melawan orang Kafir, dalam rangka menjunjung tinggi kalimah Allah, menebarkan kebenaran dan keadilan di tengah-tengah umat manusia. Jihad juga bukan perang demi menumpahkan darah, menjajah, merampok kekayaan alam, menodai jiwa dan kehormatan bangsa atau umat yang diperangi. Tetapi jihad adalah perang untuk menggempur dinding kekufuran, agar cahaya Islam bisa sampai kepada bangsa atau umat yang ada di dalamnya. Itupun merupakan alternatif terakhir, setelah para penguasa mereka tetap bebal, dan tidak mau menerima tawaran untuk memeluk Islam, atau tunduk kepada sistem dan pemerintahan Islam. Andai saja mereka mau masuk Islam, atau tunduk kepada sistem dan pemerintahan Islam, meski tetap memeluk agama mereka, maka terhadap mereka hukum jihad tersebut tidak akan diterapkan.



Para ulama’ juga memilah jihad menjadi dua: difa’i (defensif) dan ibtida’i (ofensif). Hukumnya juga berbeda. Ketika negeri kaum Muslim diserang, misalnya, seperti Irak, Afganistan dan Palestina, maka hukum berjihad melawan agresor adalah fardhu ain. Itulah jihad difa’i (jihad defensif). Berbeda jika umat Islam yang memulai serangan, maka hukumnya bukan fardhu ain, melainkan fardhu kifayah. Inilah yang disebut jihad ibtida’i (jihad ofensif). Hanya saja, siapa yang berhak mengumumkan perang dalam kondisi seperti ini? Dalam pandangan Islam, yang berhak hanya kepala negara, atau khalifah kaum Muslim. Bukan setiap orang atau kelompok. Jika kepala negara sudah memaklumkan jihad, maka seruan itu akan disambut oleh orang Mukmin dengan suka cita. Sebab, dengan jihad itulah mereka akan mendapatkan dua kebaikan. Jika menang, maka itu merupakan kebaikan. Jika kalah, mereka akan menjadi syuhada’, dan itu pun merupakan kebaikan.



Simaklah ucapan Rabi’ bin ‘Amr kepada Rustum, ketika ditanya ihwal motivasi pasukannya: “Allah mengirim kami. Dia memerintahkan kami untuk membebaskan manusia dari penyembahan kepada sesama manusia menuju pada penyembahan kepada Tuhannya manusia; dari kesempitan hidup menuju kelapangan hidup; dari ketidakadilan agama-agama menuju keadilan Islam. Allah mengirim kami dengan membawa agama-Nya untuk hamba-hamba-Nya, maka kami akan menyeru mereka kepada-Nya. Siapa saja yang mau menerima seruan ini dari kami, maka kami pun akan menerimanya, kembali ke negeri kami, dan meninggalkan mereka dan negeri mereka. Namun, siapapun yang menolak seruan kami, maka kami akan memerangi mereka sampai kami mendapatkan janji Allah.” Rustum bertanya: “Apa janji Allah yang kamu maksud?” Rabi’ menjawab: “Surga bagi yang mati dalam perang melawan orang-orang yang menentang, dan kemenangan bagi yang hidup.”



Itulah keagungan jihad, dan kemuliaan mujahid. Maka, upaya apapun yang bertujuan untuk mereduksi, memalingkan dan menstigmatisasi makna jihad harus ditolak. Namun, menerapkan hukum jihad di luar konteksnya juga harus ditolak. Kini, Allah SWT memanggil kita untuk menjadi penjaga Islam yang amanah (harisan aminan li al-Islam). Tugas kita adalah menjaga kemurnian dan kejernihan Islam. Membersihkan berbagai atribut yang bisa mengotori dan merusak Islam, kemudian menyampaikannya kepada umat, agar mereka tidak menjadi korban. Inilah PR kita. Wallahu al-muwaffiq ila aqwami at-thariq. (Hafidz Abdurrahman)